KEGALAUAN POLITIK NEGERI
"KEGALAUAN POLITIK NEGERI"
MUHAMMAD FADHLY THAHIR
Di penghujung 2013 kepercayaan
masyarakat terhadap partai politik berada dalam titik terendah. Bagaimana tidak,
jika politik telah kehilangan nilai phronesis sebagai pilar utamanya. Drama pertunjukan
akselerasi korupsi para elit partai politik seakan menjadi panggung teatrikal
yang menghipnotis jutaan manusia. Berdondong-bondong elit politik negeri masuk
jeruji besi, perilaku penegak hukum negeri yang lebih banyak bertransaksi dibanding
berdiskusi, pejabat pemerintahan tak tinggal diam menjadi peserta akrobat korupsi
yang mendarah daging. Perlahan namun pasti opini masyarakat melahirkan
penghakiman kondisi dan kontraksi realitas.
Kegalauan terhadap politik
sejatinya bisa diobati jika lapisan masyarakat memahami esensi politik itu
sendiri. Masyarakat mampu membedakan mana politisi sejati dan mana politisi
palsu. Tak sekedar terbuai oleh janji-janji manis yang ditebar. Jika saja
masyarakat kita peka terhadap realitas yang berkembang pastilah tak sulit untuk
menemukan factor “pembeda” di kalangan politisi itu. Namun memang fakta di
lapangan sekali lagi membuat kita harus tersadar bahwa tak semua kalangan
masyarakat kita mampu menjadi observer politik yang baik dan bijak. Hal ini
tidak terlepas dari beberapa faktor.
Pertama, karena level pendidikan
masyarakat kita yang majemuk. Tak semua masyarakat kita mengenyam pendidikan
tinggi. Piramida demografis bangsa kita menunjukkan bahwa persentase pendidikan
masyarakat kita tidak seimbang dengan kebutuhan penalaran kebangsaan kita yang
kompleks. Praktis hanya sebagian kecil saja yang mampu menjadi penangkap
fragmen realitas kebangsaan terkhusus politik di negeri ini. Kebanyakan menjadi
pengamat semu yang dalam makna harfiahnya menjadi pengambil kesimpulan berdasar
kasat mata fisik tapi tak sampai pada kasat mata batin.
Kedua, karena dialektika politik
negeri pasca reformasi yang semakin kapitalis. Panggung politik negeri menjadi
ajang kontes sur “fulus” nan glamor. Politik tak lagi menjadi ajang hati nurani
tapi menjadi ajang populis. Politik tak lebih dari perayaan kaum berpunya bukan
lagi persembahan pada mereka yang papa. Segala macam cara ditempuh politisi untuk
mendapat posisi namun lupa untuk serius merealisasikan janji saat kampanye.
Praktis masyarakat semakin gamang akan berpolitik. Apatisme merebak bak jamur di
musim hujan. Golput adalah jalan terakhir bagi sebuah bahasa hukuman pada
kondisi yang menyiksa.
Ketiga, karena media massa tak
berperan besar dalam pendidikan politik masyarakat. Media massa utamanya
stasiun TV tak menempatkan diri selaku media nomor wahid yang dipelototi
ratusan juta warga negeri. Faktanya, dibanding media massa cetak media massa visual
lebih dipilih oleh mayoritas masyarakat. Hal ini berbanding lurus dengan
karakter bangsa kita yang lebih tertarik pada pengamatan visual dibanding literasi.
Dalam hal ini membaca hitam di atas putih.
Sajian-sajian pemeberitaan di
media TV lebih banyak menampilkan kebobrokan perilaku elit politik dan sangat
jarang mengungkap sisi baik elit politik. Presentasenya sangat jauh berbeda. Politisi
yang korup langsung menjadi headline news dan menjadi trending topic hingga
berbulan-bulan. Sedangkan politisi yang melakukan bantuan kepada korban bencana
alam tak diliput sama sekali bahkan diberitakan negatif. Media TV masih belum
berkembang baik dalam penyediaan acara yang membangun semangat berdemokrasi
yang bersih dan egaliter. Paling banter menjelang pemilu baru kemudian marak
iklan himbauan untuk menyukseskan pemilu. Walhasil, masyarakat hanya mampu
menangkap kesimpulan berdasar apa yang mereka lihat. Berkembanglah opini bahwa
politik itu kotor. Semua partai politik sama saja. Hukum babi buta tal terelakkan. Berkembangnya opini itu menjadi dosa besar media massa
negeri ini yang lebih mementingkan aspek komersial dibanding pendidikan dalam ranah
pendidikan politik negeri.
Kegamangan politik negeri seakan
menjadi sebuah praksis ideologis dalam kajian kebangsaan kita. Sebagian kita
lupa pada sejarah bangsa. Lupa atau memang belum tahu tentang sejarah politik
negeri ini. Apa yang terjadi pada hari ini sebenarnya adalah sebuah refleksi
difusi yang berbeda dalam katup waktu antara Orde Lama dan Orde Baru serta
reformasi. Orde Baru adalah kasus historis yang menarik. Merespons Orde Lama
yang sepenuhnya politik, Orde Baru pun menarik politik secara perlahan-lahan
dalam urusan bersama. Poliferasi ideologi politik direduksi melalui fusi partai
politik. Hal ini dikarenakan teknokrasi dimaknai tak membutuhkan ideologi tapi
teknisi. Kenaikan harga bahan pokok tak dapat diselesaikan oleh ideologi tetapi
dengan kebijakan ekonomi yang terukur. Walhasil Orde Baru membawa biduk republik
ini ke dermaga baru, dermaga ekonomi.
Jikalau kita menerawang
kompleksitas problematika Era Reformasi, Orde Lama serta Orde Baru maka memang
kita menemukan perbedaan yang mendasar darinya. Di epos reformasi, kerusakan
sepenuhnya disebabkan menyelinapnya
kalkulasi kapitalis ke dalam ranah kerja politik. Sedangkan pada masa Orde Lama,
semata-mata disebabkan kegerahan kaum teknokrat terhadap kebisingan politik
yang mubazir. Ketidakpercayaan publik terhadap politik bisa jadi kembali
menjadikan ekonomi kembali sebagai panglima dengan teknokrat sebagai
hulubalangnya. Orde Baru jilid kedua pun bisa kembali hadir.
Di tahun 2014, harapnya
kegamangan serta kegalauan politik negeri ini mampu direduksi menjadi bulir-bulir
optimisme yang nantinya akan menyatu hingga membentuk hujan positif bagi masa
depan negeri ini. Apapun kondisi perpolitikan negeri dewasa ini kita harus
tetap menyimpan asa yang besar bahwa harapan itu masih ada. Kuncinya adalah
politik negeri harus kembali ke khittahnya selaku panglima. Pemilu nanti adalah
pertarungan yang menegangkan. Jika kekuatan kapital berhasil membajak demokrasi
maka lonceng kematian politik dipastikan berdentang keras. Yakin bahwa
tahun-tahun gelap politik pasti berlalu.
Harapnya kita tak lupa akan memoar
waktu yang terus bergulir. Waktu pula yang akan membuat kita mampu menyadari
setiap pilihan yang kita ambil. Maknawi mesin waktu tak dapat diputar kembali. Searah
dengan pemaknaan mendalam akan kesadaran waktu mistis sekaligus fana inilah
yang menjadikan seorang Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi. Bagi
seorang muslim maknailah “demi masa”.
0 comments:
Post a Comment