Friday, January 17, 2014

KEGALAUAN POLITIK NEGERI

         "KEGALAUAN POLITIK NEGERI"

MUHAMMAD FADHLY THAHIR

        Di penghujung 2013 kepercayaan masyarakat terhadap partai politik berada dalam titik terendah. Bagaimana tidak, jika politik telah kehilangan nilai phronesis sebagai pilar utamanya. Drama pertunjukan akselerasi korupsi para elit partai politik seakan menjadi panggung teatrikal yang menghipnotis jutaan manusia. Berdondong-bondong elit politik negeri masuk jeruji besi, perilaku penegak hukum negeri yang lebih banyak bertransaksi dibanding berdiskusi, pejabat pemerintahan tak tinggal diam menjadi peserta akrobat korupsi yang mendarah daging. Perlahan namun pasti opini masyarakat melahirkan penghakiman kondisi dan kontraksi realitas. 

          Kegalauan terhadap politik sejatinya bisa diobati jika lapisan masyarakat memahami esensi politik itu sendiri. Masyarakat mampu membedakan mana politisi sejati dan mana politisi palsu. Tak sekedar terbuai oleh janji-janji manis yang ditebar. Jika saja masyarakat kita peka terhadap realitas yang berkembang pastilah tak sulit untuk menemukan factor “pembeda” di kalangan politisi itu. Namun memang fakta di lapangan sekali lagi membuat kita harus tersadar bahwa tak semua kalangan masyarakat kita mampu menjadi observer politik yang baik dan bijak. Hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor. 

       Pertama, karena level pendidikan masyarakat kita yang majemuk. Tak semua masyarakat kita mengenyam pendidikan tinggi. Piramida demografis bangsa kita menunjukkan bahwa persentase pendidikan masyarakat kita tidak seimbang dengan kebutuhan penalaran kebangsaan kita yang kompleks. Praktis hanya sebagian kecil saja yang mampu menjadi penangkap fragmen realitas kebangsaan terkhusus politik di negeri ini. Kebanyakan menjadi pengamat semu yang dalam makna harfiahnya menjadi pengambil kesimpulan berdasar kasat mata fisik tapi tak sampai pada kasat mata batin.

        Kedua, karena dialektika politik negeri pasca reformasi yang semakin kapitalis. Panggung politik negeri menjadi ajang kontes sur “fulus” nan glamor. Politik tak lagi menjadi ajang hati nurani tapi menjadi ajang populis. Politik tak lebih dari perayaan kaum berpunya bukan lagi persembahan pada mereka yang papa. Segala macam cara ditempuh politisi untuk mendapat posisi namun lupa untuk serius merealisasikan janji saat kampanye. Praktis masyarakat semakin gamang akan berpolitik. Apatisme merebak bak jamur di musim hujan. Golput adalah jalan terakhir bagi sebuah bahasa hukuman pada kondisi yang menyiksa. 

        Ketiga, karena media massa tak berperan besar dalam pendidikan politik masyarakat. Media massa utamanya stasiun TV tak menempatkan diri selaku media nomor wahid yang dipelototi ratusan juta warga negeri. Faktanya, dibanding media massa cetak media massa visual lebih dipilih oleh mayoritas masyarakat. Hal ini berbanding lurus dengan karakter bangsa kita yang lebih tertarik pada pengamatan visual dibanding literasi. Dalam hal ini membaca hitam di atas putih. 

          Sajian-sajian pemeberitaan di media TV lebih banyak menampilkan kebobrokan perilaku elit politik dan sangat jarang mengungkap sisi baik elit politik. Presentasenya sangat jauh berbeda. Politisi yang korup langsung menjadi headline news dan menjadi trending topic hingga berbulan-bulan. Sedangkan politisi yang melakukan bantuan kepada korban bencana alam tak diliput sama sekali bahkan diberitakan negatif. Media TV masih belum berkembang baik dalam penyediaan acara yang membangun semangat berdemokrasi yang bersih dan egaliter. Paling banter menjelang pemilu baru kemudian marak iklan himbauan untuk menyukseskan pemilu. Walhasil, masyarakat hanya mampu menangkap kesimpulan berdasar apa yang mereka lihat. Berkembanglah opini bahwa politik itu kotor. Semua partai politik sama saja. Hukum babi buta tal terelakkan. Berkembangnya opini itu menjadi dosa besar media massa negeri ini yang lebih mementingkan aspek komersial dibanding pendidikan dalam ranah pendidikan politik negeri.

        Kegamangan politik negeri seakan menjadi sebuah praksis ideologis dalam kajian kebangsaan kita. Sebagian kita lupa pada sejarah bangsa. Lupa atau memang belum tahu tentang sejarah politik negeri ini. Apa yang terjadi pada hari ini sebenarnya adalah sebuah refleksi difusi yang berbeda dalam katup waktu antara Orde Lama dan Orde Baru serta reformasi. Orde Baru adalah kasus historis yang menarik. Merespons Orde Lama yang sepenuhnya politik, Orde Baru pun menarik politik secara perlahan-lahan dalam urusan bersama. Poliferasi ideologi politik direduksi melalui fusi partai politik. Hal ini dikarenakan teknokrasi dimaknai tak membutuhkan ideologi tapi teknisi. Kenaikan harga bahan pokok tak dapat diselesaikan oleh ideologi tetapi dengan kebijakan ekonomi yang terukur. Walhasil Orde Baru membawa biduk republik ini ke dermaga baru, dermaga ekonomi. 

        Jikalau kita menerawang kompleksitas problematika Era Reformasi, Orde Lama serta Orde Baru maka memang kita menemukan perbedaan yang mendasar darinya. Di epos reformasi, kerusakan sepenuhnya  disebabkan menyelinapnya kalkulasi kapitalis ke dalam ranah kerja politik. Sedangkan pada masa Orde Lama, semata-mata disebabkan kegerahan kaum teknokrat terhadap kebisingan politik yang mubazir. Ketidakpercayaan publik terhadap politik bisa jadi kembali menjadikan ekonomi kembali sebagai panglima dengan teknokrat sebagai hulubalangnya. Orde Baru jilid kedua pun bisa kembali hadir. 

        Di tahun 2014, harapnya kegamangan serta kegalauan politik negeri ini mampu direduksi menjadi bulir-bulir optimisme yang nantinya akan menyatu hingga membentuk hujan positif bagi masa depan negeri ini. Apapun kondisi perpolitikan negeri dewasa ini kita harus tetap menyimpan asa yang besar bahwa harapan itu masih ada. Kuncinya adalah politik negeri harus kembali ke khittahnya selaku panglima. Pemilu nanti adalah pertarungan yang menegangkan. Jika kekuatan kapital berhasil membajak demokrasi maka lonceng kematian politik dipastikan berdentang keras. Yakin bahwa tahun-tahun gelap politik pasti berlalu.  

          Harapnya kita tak lupa akan memoar waktu yang terus bergulir. Waktu pula yang akan membuat kita mampu menyadari setiap pilihan yang kita ambil. Maknawi mesin waktu tak dapat diputar kembali. Searah dengan pemaknaan mendalam akan kesadaran waktu mistis sekaligus fana inilah yang menjadikan seorang Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi. Bagi seorang muslim maknailah “demi masa”.

0 comments:

Post a Comment