Friday, September 5, 2014

"GORESAN SEJARAH HINGGA SALAM GIGIT JARI"

Muhammad Fadhly Thahir

Sejarah bangsa-bangsa tak pernah lepas dari kumpulan kisah heroik layaknya cerita dalam mozaik kehidupan. Setiap bangsa akan mencetak sejarahnya sendiri. Dari pergolakan hidup masyarakat bawah, kompleksitas permasalahan kebangsaan hingga pada hiruk pikuk perpolitikan dalam negeri. Dalam realitanya pergolakan politik yang ada dalam sejarah sebuah bangsa sejatinya tak pernah lepas dari beragam kepentingan yang mewarnai. Adalah sebuah omong kosong besar jika aktivitas politik tak memiliki sebuah kepetingan. Namun memang yang menjadi topik bahasan intinya bukan pada kepentingan itu namun lebih kepada arah kepentingan dari aktivitas politik itu sendiri. Politik jika di arahkan pada tujuan yang baik dan untuk memberikan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia pada hakikatnya adalah tujuan utama dari politik. Namun jikalau politik arahnya kepada bagaimana semata memuaskan nafsu tahta, duniawi dan kelompok serta sejumlah kepentingan miring maka sejatinya itulah penyimpangan dari hakikat politik. Politik ditangan orang-orang yang salah akan menjadikan politik bak mesin pembunuh berdarah dingin. Sebaliknya, politik di tangan orang-orang yang baik akan menuju pada finalisasi memanusiakan manusia layaknya sebuah altar pendidikan.
Baru saja bangsa ini melewati rangkaian proses penting dalam sejarah kebangsaan. Momentum pemilihan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Pilpres 2014 sedikit banyak menguras habis energi bangsa ini. Ibarat tubuh yang sudah lemah dan renta lalu diberi pemasalahan yang teramat berat. Ini bukan persoalan mudah semudah membalikkan telapak tangan. Ini adalah persoalan kompleks kebangsaan dalam 5 tahun kedepan. Momen pilpres memang sungguh fantastis pada edisi kali ini. Ok..cukuplah kita berbicara tentang itu. Toh semuanya sudah tahu bagaimana akhir dari drama perpolitikan ini. Kita bahasakan saja ini drama karena pada realitasnya memang banyak dramatisasi dalam prosesnya yang pada akhirnya juga melahirkan hasil yang penuh dengan lawakan jenaka.
Kita mungkin masih ingat bagaimana proses lahirnya Revolusi Prancis dalam rentang tahun 1789-1799. Revolusi yang berawal dari berbagai pergolakan kaum proletar menentang dominasi kaum borjuis. Pergolakan masyarakat menengah ke bawah  dan golongan politisi sayap kiri menentang kekuasaan bangsawan dan aristokrat. Puncaknya saat penyerbuan penjara Bastille pada 14 juli 1789 yang menjadi ledakan frase analogi kekecewaan mendalam rakyat terhadap kesewenang-wenangan dan ketidakbecusan para pemimpin negeri. Sebuah sejarah lahirnya babak baru bagi bangsa prancis setelah kekuasaan para bangsawan selama berabad abad lamanya. Dari sini ada sebuah historical lesson yang diberikan kepada setiap negeri yang dipimpin oleh sekelompok orang yang tidak kapabel.
Bangsa ini pernah mengalami sebuah peristiwa besar dalam sejarah. Peristiwa dimana pemimpin negeri ini diturunkan oleh suara hati mayoritas masyarakat. Yaa,,momen yang dimaksud adalah peristiwa Mei 1998 saat rezim Soeharto diakhiri dengan paksa oleh sebuah momen bersejarah yang dilakukan kaum intelektual bersama masyarakat. Pertama kali dalam sejarah bangsa ini pemimpin negeri masa jabatannya diakhiri secara tidak hormat. Pada hakikatnya bukan sebuah keniscayaan jika suatu saat nanti akan tiba masa dimana bangsa ini akan mengulang sejarah itu kembali. Semuanya tergantung pada bagaimana kapasitas dari pemimpin negeri dalam memipin negeri beberapa tahun kedepan.
Epilog revolusi prancis yang dalam bahasa Prancis dikenal dengan Revolution Francaise dan runtuhnya rezim Soeharto adalah dua peristiwa beda generasi namun memiliki historical sense yang sama dalam berbagai kondisi. Dua sejarah yang sebenarnya diawali dengan starting point yang cukup baik. rakyat mendukung kebijakan pemerintah meski menyisakan celah ketidakpuasan pada beberapa kebijakan lainnya. Namun seiring bergulirnya waktu perlahan namun pasti celah-celah itu sedikit demi sedikit terbuka lebar hingga pada akhirnya menganga. Kekecewaan mendalam rakyat atas ketidakbecusan pemerintah dan penyimpangan amanah yang diberikan berujung pada sebuah ledakan kekecewaan berupa revolusi total. Pergerakan massa tak dapat dibendung lagi karena mereka bergerak dan berontak murni dari hati dan bukan karena kepentingan politis parsial.
Sekarang, mari kita tarik benang merah kedua frase sejarah tadi dengan kondisi kita saat ini terkait momentum pilpres 2014. Bagi orang-orang yang betul-betul mengikuti perkembangan politik negeri serta berbagai konsepsi yang berkembang didalamnya tentunya akan menemukan berbagai macam kejanggalan dalam proses terpilihnya presiden terpilih. Proses kejanggalan itu sudah dimulai saat pra, saat, hingga pasca momen pilpres usai bahkan hingga proses di MK berakhir. Saat kita memberi penilaian terhadap kapasitas kedua calon terntunya bagi orang-orang yang mampu melihat dari berbagai sisi akan menemukan ketimpangan yang teramat sangat. Dari segi leadership, Prabowo jelas memiliki keunggulan melihat rekam jejak sejak dari dunia militer hingga terjun ke dunia politik. Retorika keduanya pun sangat compang. Pemaparan yang lugas dan terarah dimiliki Prabowo sedangkan jokowi terlihat jelas tak memiliki struktur bahasa yang baik serta mencerminkan orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi dan pemimpin birokrasi. Kapasitas keilmuan pun sangat compang. Pengetahuan kebangsaan adalah hal mutlak yang harus dimiliki seorang presiden. Jikalau persoalan Laut China selatan saja tidak kelar baiknya silahkan dinilai sendiri jika sudah menyangkut kebangsaan secara kompleks. Ok, singkat saja, kita langsung masuk pada sebuah frame berfikir tentang negeri ini jika dipimpin oleh seorang pemimpin yang sama sekali tidak memiliki kapasitas mumpuni.
Bahasa alam berkata pada sebuah realita kemanusiaan bahwa “kecintaan yang begitu besar bisa jadi menjadi kebencian yang begitu besar”. Kita batasi dulu kotak bahasan kita pada konteks pendukung capres dan tidak berpikir diluar itu. Kecintaan para pendukung jokowi bisa jadi menjadi boomerang bagi mereka sendiri dikemudian hari. Kecintaan pendukung Prabowo berbeda dikarenakan koteks situasi dan kondisi yang terjadi. Sudah banyak survey yang dilakukan secara kecil-kecilan oleh beberapa komunitas dan perorangan baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya menunjukkan sebuah hasil yang cukup menjadi gambaran bahwasanya kekecewaan dan penyesalan dari mereka yang memilih Jokowi JK saat pilpres mulai nampak dan semakin bertambah. Sebagian besar dari mereka merasa tertipu dengan pencitraan Jokowi selama ini yang terlihat merakyat namun nyatanya tidak. Memang saat ini riak kekecewaan itu belum begitu massif tapi secara pribadi saya yakin riak itu akan semakin besar seiring berjalannya pemerintahan nanti. Tak perlu kiranya para pendukung Prabowo atau orang-orang yang tidak setuju dengan Jokowi bersusah-susah memberi fakta karena yakinlah telinga para jokowers jakers pastinya sudah bebal dan terus nyaman dengan apa yang mereka rasakan selama ini. Biarlah waktu nantinya yang akan menjadi saksi terbukanya kedok Jokowi satu persatu yang sebenarnya dibuka sendiri olehnya. Saya tidak berharap yang buruk tapi saya hanya berharap suatu saat keadilan bisa menunjukkan kesaktiannya. Memang tak selamanya jalan kebenaran berjalan mulus namun yakinlah bahwa suatu saat kebenaran pasti akan menang cepat atau lambat.
Pemerintahan nantinya akan menjadi sebuah ujian besar dalam ranah terobosan baru  dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Sebaik apa negeri ini saat dipimpin oleh Jokowi dibanding saat dipimpin oleh SBY. Saat ini banyak golongan yang bersorak girang atas terpilihnya Jokowi. Asing terutama. Freeport akan terus eksis di bumi cendrawasih Papua, Exxon, Shell,dan semua perusahaan asing akan mendapatkan kemudahan menanamkan modal dan mengeruk perut bumi negeri ini yang sudah sakit. Kontrak karya baru akan dimodifikasi sehingga menguntungkan mereka. Kolonialisme ekonomi akan semakin merajalela. Kolonialisme politik akan menggurita. Bangsa ini harus bersabar melihat negeri ini lepas dari cengkeraman asing. Imbas dari menangnya faksi kegelapan saat momen pilpres kali ini dengan cara yang tidak bermartabat.
Sekarang kita berharap pada kesolidan koalisi merah putih di parlemen dalam mengawal suara rakyat dan kepentingan bangsa. Kita harus tetap total melawan setiap kebijakan yang tidak pro rakyat dan akan merugikan negeri ini. Ini bukan lagi masalah siapa namun kita melihat pada konteks kebangsaan secara utuh. Analogi air dalam gelas yang akan tumpah jika terus menerus diisi. Begitu pula dengan realitas kedepannya. Kekecewaan yang lahir dari basis pendukung sendiri karena kedok yang terbuka jelas dari waktu ke waktu akan melahirkan sebuah pergerakan massa. Raja Louis XVI yang menjadi raja terakhir dalam era aristokrat Prancis telah merasakan bagaimana dahsyatnya gelombang kekecewaan yang lahir dari masyarakat Prancis yang dulunya mendukung kebijakan pemerintah. Ia harus merelakan garis takdir kekuasaan bangsawan berakhir saat penjara Bastille diserbu dan pemerintahan diambil alih oleh rakyat. Ia harus merelakan rumah mewahnya dan para aristokrat lainnya di Versailes disita.
Nasib sama dirasakan Soeharto. Dinasti yang dibangun selama kurang lebih 32 tahun berakhir dalam momen berdarah 1998. Mahasiswa dan rakyat bersatu bangkit melawan ketidakbecusan dan ketidakberesan pemerintah dalam mengatasi permasalahan negeri. Tak dipernah dibayangkan olehnya bahwa tahta yang selama ini diduduki dengan nyaman akan berakhir dengan cara yang sangat tragis. Sebuah konsekuensi logis dari amanah. Di era reformasi saat ini, seorang SBY saja yang memiliki kapasitas leadership yang cukup baik toh tak pernah sunyi dari kritik tajam dan pergolakan rakyatnya yang tidak setuju dengan kebijakan yang ia ambil. Jika dengan kapasitas seperti Pak SBY saja masih terus diterpa perlawanan dari mahasiswa dan rakyat, apatah lagi pastinya akan semakin marak saat negeri ini dipimpin oleh seorang boneka asing yang tidak memiliki kapasitas. Karena sesungguhnya teko hanya akan mengeluarkan isinya. Boleh jadi demonstrasi akan hadir tiap bulannya bukan lagi per periode waktu seperti saat SBY memerintah.
The last but not least. Semua janji-janji politik saat kampanye yang dilontarkan Jokowi pastinya akan ditagih oleh semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Seyogyanya kita selalu ingat makna esensial dari demokrasi itu sendiri. Bahwasanya demokrasi yang berkuasa adalah rakyat. Rakyat punya hak penuh mengawasi pemerintahnya dank arena itu pula rakyat punya hak kuasa dalam mengkritisi pemerintah saat kebijakan yang ia ambil tak pro rakyat. Secara pribadi setelah melihat berbagai macam konsepsi yang berkembang dan pergolakan peta politik pasca pilpres saya bisa mengambil sebuah antitesa sementara yang boleh jadi menjadi nyata di kemudian hari. Pemerintahan Jokowi JK tidak akan bertahan hingga 5 tahun. Ada banyak faktor yang menjadi analisis tersendiri akan hal ini. Namun baiknya sekarang kita sama-sama menjadi saksi momentum demi momentum itu. Pendukung Probowo Hatta baiknya tetap optimis bahwasanya ada rencana yang telah diskenariokan Sang Pencipta kepada negeri ini. Kelak kebenaran akan menang. Hanya saja kita masih dituntut untuk bersabar lebih saat ini sembari terus berjuang, bekerja dan berdoa. Rasa minder dan krisis kepercayaan diri sejatinya sekarang ada pada diri pendukung presiden terpilih. Sayang semuanya sudah menjadi bubur. Momentum itu sudah berlalu dan tak mungkin diputar kembali. Bahasa penyesalan memang datangnya selalu di akhir. Kini duduk terpaku sembari menggigit dua jari. Tak sadar waktu berlalu. Salam Gigit Jari…!!!