TITIK NADIR SEPAKBOLA NASIONAL
ANTARA REALITAS,TAKDIR DAN TITIK NADIR
PERSEPAKBOLAAN NASIONAL
Melihat
kondisi prsepakbolaan tanah air dalam beberapa dekade terakhir,tidak bisa
dipungkiri bahwa terjadi sebuah penurunan prestasi yang sangat signifikan
diberbagai level dan ajang yang diikuti timnas Indonesia. Ada kecenderungan
perbandingan yang bergitu terasa jika kita melihat itu semua sebagai sebuah
realitas. Akan tetapi akan lain pula jika kita melihat itu semua dari aspek
takdir yang telah digariskan sang Khalik. Lebih lain lagi jikalau kita
menyangsikan sebuah percaturan titik nadir dunia persepakbolaan kita.
Pertama,aspek
realitas masa lalu dengan realitas kekinian. Sudah menjadi sebuah catatan
sejarah bahwa sepakbola Indonesia dimasa lalu sangat perkasa dan disegani.
Tidak hanya di level asia tenggara akan tetapi di Asia bahkan garangnya timnas
sampai pula di belahan bumi lain. Masihterasa saat itu timnas kita dijuluki
sebagai “Macan Asia”. Saat itu timnas dengan segala kekurangan fasilitas yang
dimiliki mampu tampil sebagai sebuah kekuatan sepakbola yang tak bisa dianggap
remeh. Uni Soviet saja yang merupakan salah satu kekuatan sepakbola dunia
ditahan imbang oleh timnas. Boleh dikata mulai dari sektor penjaga
gawang,bek,gelandang hingga penyerang Indonesia memiliki pahlawan-pahlawan
Garuda yang silih berganti mengepakkan sayap dan mengcengkeram mangsa lewat
aksinya.
Akan
tetapi sejak memasuki era tahun 1990,kepakan sayap sang Garuda mulai letih
selain itu tatapan matanya tak setajam sebelumnya,begitu pula dengan cengkeram
kukunya yang mulai tak sekuat sebelumnya. Medali emas sea games 1991 adalah
persembahan terakhir sang garuda memasuki dekade 1991. Setelah itu nyaris tak
ada lagi prestasi yang ditorehkan pasukan Garuda. Terlebih lagi memasuki era
tahun 2000-an prestasi timnas lebih parah lagi. Praktis timnas hanya mampu
melangkah dengan gagah berani ke partai puncak. Akan tetapi sekali lagi harus
gagal. Ntah itu melalui adu tendangan penalti atau dengan kekalahan menyakitkan
ditengah tingginya euforia masyarakat pecinta sepakbola nasional.
Kedua,melihat
apa yang terjadi dengan dunia persepakbolaan kita terkhusus kepada prestasi
timnas di level senior,U-23,dan U-21 maka kita mungkin bisa mengambil satu
kesimpulan akan takdir yang mungkin telah menjadi goresan tersendiri bagi persepakbolaan
kita. Masih segar dipikiran kita saat timnas senantiasa melangkah gagah berani
ke final piala AFF yang dulunya bernama piala Tiger. Tapi saat tiba di final
kegagahberanian itu harus kandas di tangan Thailand dan Singapura. Saat paling heroik adalah di final AFF 2010. Setelah menjadi yang tak
terkalahkan di grup kemudian di semifinal,akhirnya berakhir dengan tidak indah
dan menyakitkan. Menyaksikan Malaysia berpesta merayakan kemenangan agregat 4-2
di depan puluhan ribu fans Indonesia di SUGBK dan jutaan rakyat Indonesia di seantero
negeri. Paling terakhir pada edisi piala AFF 2012.
Indonesia malah kandas di babak penyisihan grup setelah kalah bersaing dengan Singapura
dan Malaysia.
Ada
satu hal menarik jika kita mengamati perkembangan sepakbola nasional. Di level
muda timnas mampu mengukir prestasi yang boleh dikatakan cukup membanggakan.
Timnas kelompok umur U-15,U-19 mampu beberapa kali memenangi sebuah ajang resmi
baik tingkat Asia tenggara,Asia dan ajang tertentu di luar negeri. Begitu pula
dengan kelompok umur U-21. Meskipun kalah menyakitkan dari Brunei Darussalam di
laga puncak Hassanal Bolkiah Trophy 2011. Akan tetapi ketika mereka kemudian
memasuki jenjang senior,maka prestasi dan semangat juang yang terlihat menurun
dan berimbas pada kegagalan demi kegagalan yang mendera datang silih berganti.
Memang jiklau kita ingin mempelajari secara
detail,maka kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa mata rantai pembinaan
yang tidak berkelanjutan adalah sumber dari kegagalan itu disamping semangat
patriotisme dan nasionalisme di dada para pemain level senior tak segarang dan
setangguh pemain era Ronny Patinasarani,Ronny Paslah,Bambang Nurdiansyah,dll.
Ketiga,menjadi
sebuah ironi ditengah euforia yang melanda seluruh rakyat indonesia akan tetapi
prestasi yang diimpikan tidak kunjung datang. Kegagalan yang menjadi akhir dari
penampilan heroik seakan menjadi sebuah titik nadir bagi dunia persepakbolaan
kita. Tidak tanggung-tanggung terhitung sejak 1991 kita tidak pernah lagi
merasakan manisnya gelar juara. Pernah sekali ketika Piala Kemerdekaan
2008,akan tetapi perlu diketahui saat itu timnas kita menang WO 3-0 atas timnas
Libya yang tidak mau melanjutkan pertandingan di babak kedua karena insiden
pemukulan ofisial tim mereka. Juara tapi bukan juara sejati. Sejak
1991,itu berarti sejak saya lahir di tahun yang sama hingga di tahun 2012 ini
tepatnya 21 tahun sudah timnas kering prestasi. Seakan dahaga di padang gurun
yang tandus,kemenangan yang dinantikan ibarat fatamorgana yang menyiksa dan
memilukan.
Di
tahun 2013 ini kita senantisa berharap dan terus berharap akan
datangnya prestasi timnas. Paling tidak di level Asia Tenggara dan yang
terdekat adalah Piala AFF 2014. Tetapi sekali lagi akankah harapan itu hanya menjadi
mimpi di siang bolong yang harus kembali berakhir dengan kenyataan pahit bagi
rakyat indonesia??? Jawabnya ada pada para punggawa timnas garuda yang akan
membawa 240 juta lebih harapan rakyat Indonesia. Selain itu PSSI selaku induk
sepakbola nasional harus betul-betul serius dan siap melakukan segalanya demi
kemajuan persepakbolaan kita. Bukan malah sebaliknya senantiasa bertikai dibalik
wajah politis yang saling menjatuhkan. Tanpa mereka sadari bahwa harapan dan
semangat bangsa lah yang mereka matikan.
Seharusnya
antara Pemerintah,PSSI,Punggawa timnas dan seluruh lapisan masyarakat berjalan
seiring dan seirama dalam membangun sepakbola nasional. Itu semua karena kita
semua harus selalu optimis dan berusaha sehingga keyakinan yang kuat dan
bersinergi mampu mengalahkan segalanya. Hingga pada akhirnya kita sepakat bahwa
harapan itu masih ada. Bahwa Macan Asia kembali bangkit dari tidur panjanngnya.
*Dimuat
di majalah Bola*
0 comments:
Post a Comment