Saturday, January 18, 2014



"PELANGI CINTA"

MUHAMMAD FADHLY THAHIR

Cinta tak pernah hadir dengan satu bahasa. Cinta khan selalu hadir dengan beribu bahasa. Bahasa cinta tak selamanya mengalun indah bak deretan melodi musik instrumental. Bahasa cinta kadang pula hadir dengan irama luka bak gesekan biola sedan mendayu. Terkadang juga ia hadir dengan gelombang musik semangat menggelora. Namun tak jarang pula ia hadir dengan paduan bahasa mendalam maknawi cinta. Mengalun mengikuti irama angin berhembus . Membawa angan dan harapan terbang bersama semilir angin malam. Menyatu bersama tenangnya embun pagi di dedaunan. Meneteskan padanan rasa ke bumi cinta dan mengalir bersama riak-riak kedamaian sungai cinta.
Atas landasan bahasa cinta itulah ia hadir dengan segenap warna dalam kehidupan manusia. Ia tak semena-mena hadir dengan bahasa suka dan bahagia. Bukan karena cinta egois dan ingin menguasai katup realitas manusia. Tidak. Justru dengan itu ia mengajarkan arti kesetiaan dan kekuatan cinta kepada manusia. Sedih dan luka adalah fragmen citarasa cinta. Menguji sejauh mana kesucian cinta dalam diri anak manusia. Bilakah karena sedih dan luka lalu ia pergi menjauh dari kenyataan cinta. Bilakah karena sedih dan luka ia terjatuh dalam nestapa mendalam. Bilakah karena sedih dan luka ia hampa memandang dunia. Semuanya akan menjadi antitesa dalam nilai cinta. Sedih dan luka bukan alasan untuk pergi menjauh, jatuh dalam nestapa dan hampa memandang dunia. Bahwasanya justru semuanya akan menjadi karang kokoh yang terbentuk dari puing-puing luka yang menjadi sejarah.
Bahwasanya karena luka dan sedih itulah yang membuat kita harus terenyah dan haru saat melihat kisah cinta anak manusia yang tak biasa. Ingatkah kita pada kisah cinta melegenda Romeo and Juliet karya William Shakespeare, Zahid dan Afirah melalui kisah cinta anak manusia dari kota Kufah, Qais dan Layla dari daratan Persia, Zainuddin dan Hayati dalam narasi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Siti Nurbaya dan Samsul Bahri dalam kisah Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli, Sampek dan Engtay dalam legenda Romantisme Cina. Apa yang terjadi pada mereka adalah sebuah realitas luka cinta yang tak biasa. Bilakah kita telah membaca dan mendalami apa yang tersaji di hadapan kita niscaya kita khan menemukan sebuah kepedihan teramat mendalam. Dalam.
Saya dan mungkin juga sebagian besar orang yang memiliki kepekaan rasa yang tinggi mengalami hal yang sama. Seringkali tatapan nanar mendalam hinggap pada diri ini ketika kembali membaca kisah mengharu biru dari cinta anak manusia. Cinta suci yang lahir dari bersihnya jiwa dan lapangnya nurani. Kisah yang membuka mata batin terdalam kita. Disini kita mendapat pelajaran berharga tentang kekuatan dan ketulusan cinta. Maknawi itu tersaji saat dua anak manusia yang saling mencinta namun harus mengalami cobaan cinta saat keduanya tak dipersatukan dalam sebuah ikatan yang suci. Itulah yang terjadi pada sederet kisah cinta yang menyejarah tadi. Perih. Pasti kita bisa merasakannya. Disaat itu pula, kita tak bisa menjamin bahwa diri kita sanggup melakoni apa yang mereka lakonkan. Melihat dan mendengar kabar bahwa pujaan hati kita bersanding dengan lelaki atau wanita lain. Ataukah seseorang yang kita harapkan menjadi pendamping hidup kita pergi meninggalkan kita karena takdir yang menyebabkan ia tak kuasa lagi menahan perih cinta terpisahkan ruang, jarak dan waktu.
Sebagian kita mungkin menganggap bahwa hal ini biasa dan lumrah dalam dunia cinta. Bahkan mungkin kita begitu mudahnya menghakimi para pecinta ini dengan ungkapan sinis bertopeng moralitas. Menganggap mereka hanyalah orang-orang yang membuang-buang waktu dengan sesuatu hal yang sia-sia. Namun, pernahkah kita menaruh rasa kasihan kepada mereka? Pernahkah kita menaruh ruang simpati pada kejadian yang mereka alami?. Bisa jadi karena sebagian kita tak mampu merasakan apa yang mereka rasakan. Tak mampu memosisikan diri kita saat  mengalami hal yang sama dengan mereka. Mungkin juga karena sebagian kita tak pernah merasakan jatuh cinta. Jatuh kepada cinta yang bernafaskan ketulusan nurani dan rasa. Asli. Cinta suci dan menyucikan. Pada hati yang tertaut karena anugerah terindah dari-Nya. Bukan cinta palsu. Andai saja bumi mampu bertitah niscaya pastilah ia menitahkan kepada makhluk bumi untuk jatuh cinta agar setiap jiwa mampu merasakan lukisan kanvas seni cinta seperti yang mereka alami.
Maka berbahagialah bagi mereka yang dipersatukan karena putih suci cinta. Cinta yang terbangun dari tautan rasa sebagai anugerah Ilahi. Inilah cinta yang penuh berkah. Namun sekali lagi kita harus menyisakan ruang simpati pada mereka yang ditakdirkan tak bersatu. Diri ini bisa merasakan itu. Sangat. Tak mudah memang. Sampai-sampai Hayati berkata pada Zainuddin. “engkaulah Zainuddin, yang akan menjadi suamiku kelak. Bila tidak di dunia, jadilah suamiku di akhirat”. Qais, saat berada dalam pengasingan cinta yang ia terima, bersembah sujud dan berdoa di altar Mekah “Wahai Yang Maha Pengasih. Raja Diraja Para Pencinta. Engkau yang menganugerahkan Cinta. Aku hanya memohon kepada-Mu satu hal saja..tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup”. Pada akhirnya mereka tak menyatu. Bisakah engkau rasakan? Jujur, saat menulis artikel ini diri ini tak kuasa menahan haru karenanya. Tulisan ini lahir dari pemaknaan mendalam akan maknawi cinta. Sungguh.
Hamka berkata lewat coretan kisahnya..

“Cinta bukan mengajarkan kita untuk menjadi lemah tetapi membangkitkan kekuatan.
Cinta bukan mengajarkan kita menghinakan diri tetapi menghembuskan kegagahan.
Cinta bukan melemahkan semangat tetapi membangkitkan semangat”.

Layaknya hidup yang senantiasa bentangkan samudera kehidupan. Untuk mengarunginya kita harus melawan badai, petir dan gelombang tak biasa. Realita cinta kadang tak sesuai dengan asa. Epos cinta kadang melahirkan antitesa takdir. Namun, seperti yang pernah kukatakan sebelumnya bahwa takdir juga tak serta merta turun lurus bagai penggaris tapi ia bisa turun seperti keris yang berkelok-kelok. Maka berdoalah. Biarlah lantunan doa ketulusan hati yang engkau panjatkan bertemu dan berkelahi dengan takdir di langit. Pemenangnya pasti khan datang padamu. Doa atau Takdir. Berdoa dan teruslah berharap moga engkau menemukan gores warna indah di akhir usahamu. Sedih dan luka adalah hujan ujian cinta. Berharap setelah hujan itu engkau khan melihat sesuatu yang indah. Pelangi Cinta.

Friday, January 17, 2014

         "KEGALAUAN POLITIK NEGERI"

MUHAMMAD FADHLY THAHIR

        Di penghujung 2013 kepercayaan masyarakat terhadap partai politik berada dalam titik terendah. Bagaimana tidak, jika politik telah kehilangan nilai phronesis sebagai pilar utamanya. Drama pertunjukan akselerasi korupsi para elit partai politik seakan menjadi panggung teatrikal yang menghipnotis jutaan manusia. Berdondong-bondong elit politik negeri masuk jeruji besi, perilaku penegak hukum negeri yang lebih banyak bertransaksi dibanding berdiskusi, pejabat pemerintahan tak tinggal diam menjadi peserta akrobat korupsi yang mendarah daging. Perlahan namun pasti opini masyarakat melahirkan penghakiman kondisi dan kontraksi realitas. 

          Kegalauan terhadap politik sejatinya bisa diobati jika lapisan masyarakat memahami esensi politik itu sendiri. Masyarakat mampu membedakan mana politisi sejati dan mana politisi palsu. Tak sekedar terbuai oleh janji-janji manis yang ditebar. Jika saja masyarakat kita peka terhadap realitas yang berkembang pastilah tak sulit untuk menemukan factor “pembeda” di kalangan politisi itu. Namun memang fakta di lapangan sekali lagi membuat kita harus tersadar bahwa tak semua kalangan masyarakat kita mampu menjadi observer politik yang baik dan bijak. Hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor. 

       Pertama, karena level pendidikan masyarakat kita yang majemuk. Tak semua masyarakat kita mengenyam pendidikan tinggi. Piramida demografis bangsa kita menunjukkan bahwa persentase pendidikan masyarakat kita tidak seimbang dengan kebutuhan penalaran kebangsaan kita yang kompleks. Praktis hanya sebagian kecil saja yang mampu menjadi penangkap fragmen realitas kebangsaan terkhusus politik di negeri ini. Kebanyakan menjadi pengamat semu yang dalam makna harfiahnya menjadi pengambil kesimpulan berdasar kasat mata fisik tapi tak sampai pada kasat mata batin.

        Kedua, karena dialektika politik negeri pasca reformasi yang semakin kapitalis. Panggung politik negeri menjadi ajang kontes sur “fulus” nan glamor. Politik tak lagi menjadi ajang hati nurani tapi menjadi ajang populis. Politik tak lebih dari perayaan kaum berpunya bukan lagi persembahan pada mereka yang papa. Segala macam cara ditempuh politisi untuk mendapat posisi namun lupa untuk serius merealisasikan janji saat kampanye. Praktis masyarakat semakin gamang akan berpolitik. Apatisme merebak bak jamur di musim hujan. Golput adalah jalan terakhir bagi sebuah bahasa hukuman pada kondisi yang menyiksa. 

        Ketiga, karena media massa tak berperan besar dalam pendidikan politik masyarakat. Media massa utamanya stasiun TV tak menempatkan diri selaku media nomor wahid yang dipelototi ratusan juta warga negeri. Faktanya, dibanding media massa cetak media massa visual lebih dipilih oleh mayoritas masyarakat. Hal ini berbanding lurus dengan karakter bangsa kita yang lebih tertarik pada pengamatan visual dibanding literasi. Dalam hal ini membaca hitam di atas putih. 

          Sajian-sajian pemeberitaan di media TV lebih banyak menampilkan kebobrokan perilaku elit politik dan sangat jarang mengungkap sisi baik elit politik. Presentasenya sangat jauh berbeda. Politisi yang korup langsung menjadi headline news dan menjadi trending topic hingga berbulan-bulan. Sedangkan politisi yang melakukan bantuan kepada korban bencana alam tak diliput sama sekali bahkan diberitakan negatif. Media TV masih belum berkembang baik dalam penyediaan acara yang membangun semangat berdemokrasi yang bersih dan egaliter. Paling banter menjelang pemilu baru kemudian marak iklan himbauan untuk menyukseskan pemilu. Walhasil, masyarakat hanya mampu menangkap kesimpulan berdasar apa yang mereka lihat. Berkembanglah opini bahwa politik itu kotor. Semua partai politik sama saja. Hukum babi buta tal terelakkan. Berkembangnya opini itu menjadi dosa besar media massa negeri ini yang lebih mementingkan aspek komersial dibanding pendidikan dalam ranah pendidikan politik negeri.

        Kegamangan politik negeri seakan menjadi sebuah praksis ideologis dalam kajian kebangsaan kita. Sebagian kita lupa pada sejarah bangsa. Lupa atau memang belum tahu tentang sejarah politik negeri ini. Apa yang terjadi pada hari ini sebenarnya adalah sebuah refleksi difusi yang berbeda dalam katup waktu antara Orde Lama dan Orde Baru serta reformasi. Orde Baru adalah kasus historis yang menarik. Merespons Orde Lama yang sepenuhnya politik, Orde Baru pun menarik politik secara perlahan-lahan dalam urusan bersama. Poliferasi ideologi politik direduksi melalui fusi partai politik. Hal ini dikarenakan teknokrasi dimaknai tak membutuhkan ideologi tapi teknisi. Kenaikan harga bahan pokok tak dapat diselesaikan oleh ideologi tetapi dengan kebijakan ekonomi yang terukur. Walhasil Orde Baru membawa biduk republik ini ke dermaga baru, dermaga ekonomi. 

        Jikalau kita menerawang kompleksitas problematika Era Reformasi, Orde Lama serta Orde Baru maka memang kita menemukan perbedaan yang mendasar darinya. Di epos reformasi, kerusakan sepenuhnya  disebabkan menyelinapnya kalkulasi kapitalis ke dalam ranah kerja politik. Sedangkan pada masa Orde Lama, semata-mata disebabkan kegerahan kaum teknokrat terhadap kebisingan politik yang mubazir. Ketidakpercayaan publik terhadap politik bisa jadi kembali menjadikan ekonomi kembali sebagai panglima dengan teknokrat sebagai hulubalangnya. Orde Baru jilid kedua pun bisa kembali hadir. 

        Di tahun 2014, harapnya kegamangan serta kegalauan politik negeri ini mampu direduksi menjadi bulir-bulir optimisme yang nantinya akan menyatu hingga membentuk hujan positif bagi masa depan negeri ini. Apapun kondisi perpolitikan negeri dewasa ini kita harus tetap menyimpan asa yang besar bahwa harapan itu masih ada. Kuncinya adalah politik negeri harus kembali ke khittahnya selaku panglima. Pemilu nanti adalah pertarungan yang menegangkan. Jika kekuatan kapital berhasil membajak demokrasi maka lonceng kematian politik dipastikan berdentang keras. Yakin bahwa tahun-tahun gelap politik pasti berlalu.  

          Harapnya kita tak lupa akan memoar waktu yang terus bergulir. Waktu pula yang akan membuat kita mampu menyadari setiap pilihan yang kita ambil. Maknawi mesin waktu tak dapat diputar kembali. Searah dengan pemaknaan mendalam akan kesadaran waktu mistis sekaligus fana inilah yang menjadikan seorang Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi. Bagi seorang muslim maknailah “demi masa”.

Wednesday, January 8, 2014

 "RESOLUSI KEPEMIMPINAN 2014"

Muhammad Fadhly Thahir

         Entah sampai kapan diri ini berhenti bangga kepada Bung Karno. Presiden pertama RI yang hingga kini namanya terus menyejarah. Terlepas dari kontroversi kehidupan pribadinya di akhir-akhir masa kepemimpinanya, Soekarno masih memiliki lebih banyak sumbangsih tak ternilai untuk bangsa ini. Soekarno, saat itu setara menjadi salah satu pemimpin paling disegani di dunia. Di Dunia bukan di Asia saja. Pemimpin dimana para pemimpin Eropa pun mengakui kehebatan tokoh proklamator RI ini. Namanya tercatat pada ribuan karya tulis dari berbagai belahan dunia. bahkan namanya diabadikan menjadi nama jalan, patung di luar negeri. Saat itu Soekarno menjadi idola masyarakat dunia dengan ide-ide dan kualitas kepemimpinannya.

         Memasuki tahun 2014, bangsa ini layak membuka semangat optimisme untuk menatap hari-hari yang lebih baik kedepannya. Tahun 2014 adalah tahun politik bagi rakyat indonesia. tidak lama lagi pesta demokrasi terbesar akan digelar di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Pemilihan Umum Presiden tepatnya. Momen dimana bangsa Indonesia memilih pemimpin negerinya untuk rentang 5 tahun kedepan. Momen yang sangat menentukan bagi masa depan negeri berjuta impian dan surga dunia ini. Tak cerdas dalam memilih akan berakibat fatal. Indonesia telah memiliki 6 presiden sepanjang sejarah negeri ini terbentuk. Namun, tak semua dari presiden itu memberi rasa bangga kepada tumpah darahnya.

       Sedikit saya mengantar cakrawala berpikir kita tentang satu pemimpin hebat yang pernah dimiliki Indonesia, Soekarno. Saat itu di depan maket Stadion Senayan, Bung Karno menunjuk-nunjukkan tongkatnya ke maket rencana Stadion “Ini…ini akan jadi Stadion terbesar di dunia, ini adalah awal bangsa kita menjadi bintang pedoman bangsa-bangsa di dunia, semua olahraga dari negara-negara di dunia ini, berlomba disini. Kita tunjukkan pada dunia, Indonesia bangsa yang besar, yang mampu maju ke muka memimpin pembebasan bangsa-bangsa di dunia menuju dunia barunya”.Stadion inilah yang kita kenal dengan Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Markas Tim Nasional Indonesia.

        Lalu Sukarno memanggil pematung Sunarso dan berkata : “Coba dari arah lurus ini, kamu buat Patung Selamat Datang, disinilah patung yang akan jadi gerbang bangsa kita, awal dari mula sejarah berpikir kita. Jakarta akan jadi kota dunia, ini impianku, dari Stadion Senayan ini akan dilingkari pusat-pusat kebudayaan, kita akan melahirkan bukan saja atlet-atlet handal tapi pelukis-pelukis jempolan, penari-penari kelas dunia, dan penyanyi-penyanyi yang lagunya bisa membangkitkan suara surga dari tanah Nusantara. Cobalah Sunarso aku ingin lihat karyamu, patung-patungmu akan memberi jiwa bagi bangkitnya bangsa kita ke muka dunia Internasional. Monumenmu yang kau bangun adalah kehormatan”.

        Kemudian Bung Karno diperlihatkan maket jalan Semanggi : “Semanggi ini perlambang bunga yang imbang, dari susunan daunnya dan batangnya. Ini seperti bangsa kita yang menyukai keindahan, dan taukah kamu…eh Bandrio, eh Jenderal Suprayogi, eh Sutami….keindahan itu adalah keseimbangan” kata Bung Karno dengan mata penuh kemenangan.

       Utusan Jepang untuk persiapan Asian Games 1962 berdecak kagum pada bangsa Indonesia. “Ini bangsa gila, bisa menyiapkan seluruh soal dalam hitungan bulan, dengan membangun Stadion raksasa sekaligus pemindahan penduduk tanpa ribut-ribut. Kepemimpinannya luar biasa.”

        Bung Karno dengan akal cerdasnya tidak membangun Stadion dengan hutang atau pake dana APBN dimanipulasi proyeknya seperti yang terjadi sekarang. Tapi ia memboyong semua menterinya ke Tokyo. Sukarno tinggal di Tokyo 18 hari, beliau juga sering ke Tokyo selain 18 hari itu. Disana Sukarno melobi seluruh pejabat-pejabat Jepang. Bahkan Mochtar Lubis dalam sebuah sindirannya berkata : “Gila, Ibukota RI pindah ke Tokyo”. Ini benar juga soalnya Robert Kennedy yang sedang melobi Soekarno harus ke Tokyo bukan ke Jakarta, semua pekerjaan dilaporkan para menteri ke Tokyo.

        Dari Tokyo ini Soekarno mendapat pampasan perang Jepang. Beda dengan lobi gaya Sjahrir yang membuat Indonesia harus membayar kepada Belanda, lobi kepada Jepang justru membuat Jepang harus membayar pampasan perang kepada Indonesia, itulah hebatnya Soekarno. Dengan pampasan perang itu Soekarno membangun Stadion paling hebat sedunia, Soekarno membangun Jembatan Ampera, Soekarno membangun banyak hotel agar Jakarta dipersiapkan jadi kota Internasional. Soekarno membangun jalan-jalan raya seperti Semanggi yang sampai sekarang masih dibanggakan bangsa Indonesia. Itulah warisan Soekarno pada kita.

         Coba kita lihat sekarang, dibawah kepemimpinan SBY kita bisa merasakan betapa mirisnya keadaan negeri ini. SBY seakan bermain-main dengan logika sehat rakyat. Kasus Nazaruddin, kasus tak tau malu Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng, Mega proyek Hambalang, Wisma atlet palembang, Century. Acara Sea Games yang berantakan karena dana proyek belum turun serta dana yang dikorup, maling tanpa moralitas. BBM diutak atik hingga rakyat pusing, dipermainkan layaknya sirkus jalanan. Harga diri bangsa tergadaikan demi fulus. Hancurlah perut bumi dan sakitlah ia saat korporator asing mengeruk kekayaan alam negeri disaat royalty yang masuk ke negara diluar akal sehat. Kedaulatan negeri terus dirongrong karena ketidaktegasan pemerintah. Inilah serusak-rusaknya zaman. Pemimpinnya tak bisa berbuat banyak, tak tegas, tak mewakili representasi seorang leader yang lahir dari rahim militer.

          Rekor buruk kepemimpinan SBY hanya bisa disaingi oleh Presiden kelima RI, Megawati. Pada saat itu Indonesia terkenal dengan penjualan pion-pion negeri untuk pelunasan utang negara. Dengan alasan itu, Mega menjual aset-aset negara dan BUMN. Privatisasi juga dilakukan terhadap saham-saham perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan hanya sekitar 20% dari total nilai BLBI. Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun pemerintahan ini terjadi privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun pada 2001; Rp7,7 triliun pada 2002; dan Rp7,3 triliun pada 2003. Jadi, total sebanyak Rp18,5 triliun yang berhasil didapatkan Mega saat itu. Edan.

         Tahun 2014 ini, Indonesia membutuhkan pemimpin yang betul-betul tahu bagaimana cara menjadi seorang pemimpin. Menjadi The True Leader. Bekerja dalam realitas plural dan multikultural negeri. Harus tahu bagaimana memimpin dengan berbagai macam eksepsi kehidupan, tahu bagaimana cara memimpin dengan landasan batu bata agama, keikhlasan, kemampuan yang komprehensif merespon realitas, professional, visioner, tegas, berdedikasi tinggi, menjadi pemerhati yang baik, berwawasan lokal dan kebangsaan, berpikir modern dan global, bekerja dengan irama totalitas serta yang terpenting adalah memimpin dan bekerja atas nama cinta.  

       Mampukah pemimpin Indonesia yang terpilih nantinya mengintegralkan nilai-nilai positif dari pemimpin sebelumnya? NIlai positif dari Soekarno, Soeharto, Habibie dan Gusdur. Kita tunggu saja episodenya. Bung Karno bangsa ini merindukan dirimu dan mimpimu..!!!

#ResolusiKepemimpinanNegeri
#TheNextLeader

Monday, January 6, 2014

"KEJAMNYA FITNAH"

MUHAMMAD FADHLY THAHIR

          Andai di dunia ini tak ada yang namax kabar angin/burung..pastinya takkan ada perselisihan yang terjadi diantara umat manusia, takkan ada persaudaraan yang putus, takkan ada pertemanan yang retak,,takkan ada hubungan yang berakhir,,takkan ada perselisihan bertetangga, dan polaritas hubungan sesama makhluk sosial. Namun takdir alam membuatnya ada untuk mewarnai hidup ini. Baik jika warnanya menjadikan hidup lebih baik, bersemangat, optimis..Namun sayang, lebih sering ia membuat luntur warna yang ada..mengeruhkan air yang putih..membuat sebagian orang menjadi dilema, nelangsa, dan bahkan ada yang tak bisa keluar dari bayang-bayang efek kabar angin jahat itu. 

           Seandainya semua memahami bahasa efek samping yang ditimbulkan dari kabar angin itu niscaya tak adalagi yang begitu mudah menyebar kabar abu-abu..pastinya akan berpikir beribu kali sebelum menyebar kabar angin yang di dalam agama disebut fitnah. Kabar angin hanya memiliki 2 akhir..Pertama, kabar yang tersampaikan dari mulut ke mulut berkurang dari kondisi yang sebenarnya. Kedua, bertambah dari kondisi sebenarnya. jika berkurang masih mending tp jika bertambah maka inilah yang parah dan sangat fatal. Benar adanya bahwa fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Orang terbunuh tak merasakan sakit yang lama. Seketika sakitnya hilang dan raganya melayang. Namun beda dengan fitnah, ia memang tak membunuh raga manusia, namun membunuh hati, jiwa dan psikologis korban fitnah, namax dirusak yang berefek ia dijauhi oleh orang-orang sekitarnya, dikucilkan. Karirnya tamat. Prestasinya Jeblok. Semangat hidupnya mati. Sadis. Apatah lagi arti hidup bagi yang terfitnah jika sudah seperti ini. Hancur. Jika saja yang terfitnah tak memiliki iman yang kuat pastilah ia sudah mengakhiri hidupnya. 

           Tak cukupkah berbagai kisah dalam lembaran sejarah menjadi pelajaran bagi kita? Sejak zaman Nabi Adam AS hingga kini sudah begitu banyak kejadian mengerikan yang terkadi karena fitnah ini. Darah tertumpah. Perang yang melibatkan begitu banyak orang dari berbagai kerajaan dan negara sangat sering terjadi hanya karena kabar angin-anginan yang dibesar-besarkan. Dahsyat. Betapa sadis dan mengerikannya efek yang dihasilkan dari fitnah ini. Lebih parah lagi karena sangat jarang orang-orang mau dan punya niatan untuk mengecek kebenaran berita yang beredar langsung kepada objek fitnah. Justru yang terjadi adalah kebanyakan langsung percaya dengan apa yang mereka dengar. Tak ada upaya tuk klarifikasi langsung ke orang yang difitnah. Jadilalh mereka orang-orang yang menebar prasangka, menarik kesimpulan instan dan sepihak, menjadi hakim dadakan yang begitu cepat memvonis seseorang.

      Orang yang memfitnah/menyebar kabar angin ibaratnya orang yang mencabik-cabik daging orang lain/saudaranya sendiri. daging itu dicabik dari tubuh objek fitnah lalu disebar di jalanan hingga membusuk. ketika suatu hari nanti terbukti bahwa terfitnah sebenarnya tidak bersalah..masih bisakah daging yang sudah membusuk di jalanan itu dipungut kembali lalu dipasang di badan sang terfitnah? Bisa? walaupun daging itu dijahit agar bisa menempel kembali di tubuh terfitnah,, apakah itu menjamin bahwa ia tak membekas? tak menyisakan bekas, koreng, nanah yang mengering? Jawablah. Semoga kita semua tersadar dan mampu mengambil hikmah dibalik semua problematika kehidupan sehingga kita mampu menjadi pribadi yang lebih arif dan bernilai lebih. Wallahu Alam bisshawab. Thanks a lot for your attention.