"JOKOWI JADI PRESIDEN, LAYAKKAH?"
Muhammad Fadhly Thahir
Akhirnya Joko
Widodo yang lebih dikenal dengan JOKOWI resmi menjadi calon presiden dari
partai PDIP. Sebenarnya pencalonan ini bukan lagi isu baru di tanah air. Di
penghujung 2013 dan awal tahun baru 2014, nama Jokowi sudah santer diberitakan
bakal menjadi calon presiden usungan partai Pimpinan Megawati Soekaro Putri
ini. Majunya Jokowi ke panggung perebutan kursi nomor 1 RI tak pelak
menimbulkan beragam spekulasi mengenai topeng politik yang tengah disusun oleh
Partai Banteng Merah ini. Hal ini bisa menjadi sebuah praksis ideologis bagi
pengamat politik tanah air dan masyarakat selaku pemilik demokrasi. Bukan karena
sosok seorang Jokowi yang begitu populer sejak naik daun akibat mobil Esemka. Namun
lebih kepada penilaian layakkah ia menjadi seorang presiden.
Jokowi, yang
dikenal luas masyarakat Indonesia sejak momen peluncuran mobil Esemka adalah
seorang figure baru di panggung perpolitikan nasional. Puncaknya saat ia
kemudian berhasil meraih pucuk pimpinan di DKI 1. Lewat metode blusukan yang ia
ambil praktis membuat citranya melambung tinggi. Dari segi ini satu nilai
positif patut untuk diberi apresiasi. Bahwasanya ia telah berhasil menerapkan
sebuah metode yang didalam istilah kerennya lebih dikenal dengan istilah merakyat. Memang sejatinya para calon
pemimpin sepantasnya melakukan hal yang sama dengan Jokowi. Lebih intens untuk
dekat dengan masyarakat, berbaur dengan semua lapisan masyarakat utamanya
menengah ke bawah. Namun memang yang banyak kemudian terjadi adalah calon-calon
pemimpin atau calon anggota legislatif hanya ingin enaknya saja. Mengambil jalan
isntan dengan tak mau mengambil banyak resiko dan perasan keringat.
Figuritas Jokowi
yang melonjak drastis tak terlepas dari peran media massa dalam memainkan
perannya. Segala hal dari sisi positif Jokowi digembar gemborkan hingga terlalu
sering melebihi fakta yang ada. Media TV, Radio, cetak hingga dunia maya nyaris
tak pernah alpa menyajikan kharismatik, kesederhanaan dan keahlian Jokowi dalam
aspek kepribadian dan kepemimpinan. Beberapa bulan terakhir boleh dikatakan
persentase pemberitaan tentang Jokowi
seakan menjadi panggung akrobatik yang dinikmati ratusan juta pasang
mata di seantero negeri. Hingga pada akhirnya kesemuanya melahirkan aksioma
dalam realitas masyarakat. Jokowi digelari Ratu Adil, Manusia Setengah Dewa dan
berbagai macam gelar yang kesemuanya merujuk pada pengaguman berlebihan
terhadap sosok Jokowi. Astaghfirullah, sudah sebaik itukah Jokowi hingga gelar
yang diberikan padanya telah menyaingi bahkan mengalahkan gelar para Nabi. Dari
sini kita kemudian bisa membuka ruang diskursus nalar kepada khalayak
bahwasanya sudah sejauh mana kapsitas keilmuan gubernur DKI itu dalam memimpin
ibukota dalam kaitannya dengan realita di lapangan.
Masih segar
dalam ingatan kita bagaimana berbagai program kerja yang dicanangkan Jokowi
saat menjadi calon gubernur pada kenyataanya tak terealisasi atau mandek di
tengah jalan. Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang dicanangkan untuk
masyarakat kurang mampu di DKI yang sejatinya menjadi sebuah program unggulan
ternyata banyak menemui kendala. Saat beberapa rumah sakit yang diajak
bekerjasama mundur karena merugi, pemberian jatah kepada yang tidak berhak,
program yang ditengarai tumpang tindih dengan JKN, hingga pada akhirnya DPR
akan mengajukan rencana interpelasi terkait program KJS ini. Selain itu, proyek
monorail yang dicanangkan Jokowi sepertinya akan sangat sulit untuk teralisasi.
Pemegang hak tender proyek, PT Jakarta Monorail (JM) mengalami hambatan pada sisi
tata ruang kota yang mengakibatkan plan area yang sudah disusun tak sesuai
dengan realita kota di lapangan. Hal ini mengakibatkan jokowi seakan mulai
meninggalkan visinya itu dan mengalihkan ke alat angkut penumpang lain yang
lebih mudah dibanding monorel yakni Metro Kapsul. Sekarang, proyek monorail
menunggu nasib antara langit dan bumi.
Proyek bus
transjakarta yang juga dicanangkan Jokowi pada akhirnya mengalami nasib yang
tidak jauh berbeda dengan proyek monorail. Dengan dana yang cukup fantastis
untuk mendatangkan ratusan unit bus gandeng dari Cina itu diawal kedatangannya
sudah menemui banyak keganjalan. Mesin yang karatan, kaca spion hilang, pintu
rusak, perangkat dalam yang rusak hingga ada yang terbakar di tengah jalan. Kesemuanya
semakin memberatkan indikasi bahwasanya memang bus–bus yang didatangkan bukanlah
baru alias bekas. Indikasi ini juga semakin menguatkan dugaan penyelewengan
dana milyaran rupiah dari proyek yang
menurut laporan terakhir dari Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) bekerjasama
dengan KPK menduga adanya penggelembungan dana lebih dari 53 miliar rupiah.
Sungguh miris jadinya jika kita menilik satu persatu program kerja dari Jokowi
selaku Gubernur DKI Jakarta.
Sampai disini
kita sudah bisa memahami sedikit banyak bagaimana sebenarnya pencapaian dari
seorang Gubernur DKI dalam melakukan kerja-kerja selaku pemimpin. Sangat sering
kita menelaah kata-kata yang terlontar darinya saat ditanyai oleh wartawan yang
mengindikasikan bahwa hingga pada titik ini Jokowi sudah cukup pusing dengan
pergolakan realitas yang ada. Bagaimana jika ia menjadi presiden? Ini baru Jakarta
belum Indonesia yang lebih luas dan kompleks permasalahannya. Berangkat dari
realita yang ada, hal ini pula menyebabkan para buruh saat berdemonstrasi
tentang upah minimum kerja menyebut Jokowi bukan gubernur mereka tetapi
gubernur monyet. Hal ini bukanlah sekedar ungkapan kekesalan saja tapi karena
memang disaat banyak masalah yang menghimpit ibukota, Jokowi malah lebih asyik memberi
perhatian lebih kepada monyet yang ada di Kebun Binatang Ragunan dibanding memerhatikan
tuntutan warganya dan Ibukota. Tak heran jika kemudian banyak pengamat dari beragam kalangan juga menilai bahwa kapasitas keilmuan Jokowi belum mampu untuk mengurus kompleksitas kebangsaan. bukan hanya itu, bahkan level gubernur ibukota saja memang sudah dipertanyakan. Hal ini terbukti dari ketidakmampuan ia dalam menghadapi dan mengambil langkah strategis menghadapi gelombang polemik Ibukota. Mungkin memang selama ini ia hanya menang citra layaknya SBY. Miris.
Seabrek permasalahan
ibukota tak menjadi penghalang bagi Jokowi untuk maju sebagai calon presiden
pada bursa capres tahun ini. Boleh dikatakan
ini adalah sebuah lelucon terhadap realita dan juga sebagai sebuah intrik
politik. Bukanlah sebuah pernyataan semata jika ini adalah lelucon. Lihatlah berabgai
permasalahan ibukota saat ini yang hingga detik ini belum juga bisa diatasi dan
ditemukan ramuan mujarabnya. Banjir, macet, pemukiman kumuh, urban, infrastukur
jalan, sarana public, dan masih banyak lainnya adalah deretan perkara tak biasa
yang seharusnya menjadi objek pemikiran bagi seorang pemimpin. Lari dari
kenyataan dengan mencari peruntungan baru. Selanjutnya, mengapa ini disebut
intrik politik? Melihat dari data rerakhir yang dikeluarkan KPK tentang tingkat
korupsi partai politik maka bisa kita ketahui bahwa PDIP menjadi juara wahid
dalam urusan ini. Untuk mengaburkan pandangan masyarakat yang jika dibiarkan
bisa merusak citra partai maka diusunglah seorang jokowi yang lagi tren di masyarakat
guna menyelamatkan topeng partai. Cerdik. Harapannya bahwa dengan popularitas
Jokowi sebagai pemimpin yang ramah, sederhana dan mumpuni mampu menjadikan
masyarakat lupa akan berbagai prestasi gagalnya dalam memimpin ibukota dan
mereduksi opini masyarakat terkait rekor korupsi yang dilakukan elit partai di
berbagai daerah hingga pusat.
Momentum politik
tahun ini adalah sebuah pertarungan ideologi yang sangat berat. Salah dalam
mengambil keputusan berakibat fatal lima tahun kedepan. Periode kali ini adalah
periode tahun emas bagi Indonesia untuk menapak lebih maju dari sebelumnya. Dekade
inilah harapannya Indonesia bertumbuh menjadi negara yang punya pengaruh besar
dan bisa kembali disegani. Bila kemudian momentum politik kali ini tidak
menjadi representasi massif bagi rakyat Indonesia maka alamat buruk bagi dunia
perpolitikan tanah air. Jikalau kekuatan materi mengalahkan demokrasi bisa
dipastikan berefek bagi konstalasi negeri di semua sendi kehidupan. Kini bukan
lagi eranya citra menjadi pedang
pembelaan diri. Namun yang terpenting adalah menunjukkan dedikasi dan kerja nyata.
Jadilah pemilih cerdas yang memilih bukan karena figuritas semata akan tetapi
karena kerja nyata dan kontribusi terhadap negeri dan khalayak selama ini. Memilih
bukan karena uang sudah di tangan tapi memilih karena penalaran dan analisa
yang menyeluruh dan tak timpang. Jika tetap idealis tak ingin memilih ada
baiknya coba untuk merenungkan kenyataan partai politik. Apakah mereka dihuni
oleh para malaikat atau manusia. Dikarenakan mereka adalah manusia yang
mengurus seuatu pastinya mereka tak lepas dari salah dan khilaf. Namun yang
terpenting adalah cobalah untuk tidak terbuai oleh pemberitaan negatif media
terhadap partai politik tapi fokuslah pada penggalian informasi dari berbagai
sumber terhadap sebuah partai politik dan kinerja kader-kadernya di panggung
realitas. Kita harus percaya bahwa masih ada partai yang betul-betul punya
niatan tulus dan visi serta misi cemerlang untuk Indonesia.