"GORESAN SEJARAH HINGGA SALAM GIGIT JARI"
Muhammad Fadhly Thahir
Sejarah
bangsa-bangsa tak pernah lepas dari kumpulan kisah heroik layaknya cerita dalam
mozaik kehidupan. Setiap bangsa akan mencetak sejarahnya sendiri. Dari
pergolakan hidup masyarakat bawah, kompleksitas permasalahan kebangsaan hingga pada
hiruk pikuk perpolitikan dalam negeri. Dalam realitanya pergolakan politik yang
ada dalam sejarah sebuah bangsa sejatinya tak pernah lepas dari beragam
kepentingan yang mewarnai. Adalah sebuah omong kosong besar jika aktivitas
politik tak memiliki sebuah kepetingan. Namun memang yang menjadi topik bahasan
intinya bukan pada kepentingan itu namun lebih kepada arah kepentingan dari
aktivitas politik itu sendiri. Politik jika di arahkan pada tujuan yang baik
dan untuk memberikan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia pada
hakikatnya adalah tujuan utama dari politik. Namun jikalau politik arahnya
kepada bagaimana semata memuaskan nafsu tahta, duniawi dan kelompok serta
sejumlah kepentingan miring maka sejatinya itulah penyimpangan dari hakikat politik.
Politik ditangan orang-orang yang salah akan menjadikan politik bak mesin
pembunuh berdarah dingin. Sebaliknya, politik di tangan orang-orang yang baik
akan menuju pada finalisasi memanusiakan manusia layaknya sebuah altar
pendidikan.
Baru saja
bangsa ini melewati rangkaian proses penting dalam sejarah kebangsaan. Momentum
pemilihan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Pilpres 2014 sedikit
banyak menguras habis energi bangsa ini. Ibarat tubuh yang sudah lemah dan
renta lalu diberi pemasalahan yang teramat berat. Ini bukan persoalan mudah
semudah membalikkan telapak tangan. Ini adalah persoalan kompleks kebangsaan
dalam 5 tahun kedepan. Momen pilpres memang sungguh fantastis pada edisi kali
ini. Ok..cukuplah kita berbicara tentang itu. Toh semuanya sudah tahu bagaimana
akhir dari drama perpolitikan ini. Kita bahasakan saja ini drama karena pada
realitasnya memang banyak dramatisasi dalam prosesnya yang pada akhirnya juga
melahirkan hasil yang penuh dengan lawakan jenaka.
Kita mungkin
masih ingat bagaimana proses lahirnya Revolusi Prancis dalam rentang tahun
1789-1799. Revolusi yang berawal dari berbagai pergolakan kaum proletar
menentang dominasi kaum borjuis. Pergolakan masyarakat menengah ke bawah dan golongan politisi sayap kiri menentang
kekuasaan bangsawan dan aristokrat. Puncaknya saat penyerbuan penjara Bastille
pada 14 juli 1789 yang menjadi ledakan frase analogi kekecewaan mendalam rakyat
terhadap kesewenang-wenangan dan ketidakbecusan para pemimpin negeri. Sebuah
sejarah lahirnya babak baru bagi bangsa prancis setelah kekuasaan para bangsawan
selama berabad abad lamanya. Dari sini ada sebuah historical lesson yang
diberikan kepada setiap negeri yang dipimpin oleh sekelompok orang yang tidak
kapabel.
Bangsa ini
pernah mengalami sebuah peristiwa besar dalam sejarah. Peristiwa dimana
pemimpin negeri ini diturunkan oleh suara hati mayoritas masyarakat. Yaa,,momen
yang dimaksud adalah peristiwa Mei 1998 saat rezim Soeharto diakhiri dengan
paksa oleh sebuah momen bersejarah yang dilakukan kaum intelektual bersama
masyarakat. Pertama kali dalam sejarah bangsa ini pemimpin negeri masa
jabatannya diakhiri secara tidak hormat. Pada hakikatnya bukan sebuah
keniscayaan jika suatu saat nanti akan tiba masa dimana bangsa ini akan
mengulang sejarah itu kembali. Semuanya tergantung pada bagaimana kapasitas
dari pemimpin negeri dalam memipin negeri beberapa tahun kedepan.
Epilog
revolusi prancis yang dalam bahasa Prancis dikenal dengan Revolution Francaise dan
runtuhnya rezim Soeharto adalah dua peristiwa beda generasi namun memiliki historical
sense yang sama dalam berbagai kondisi. Dua sejarah yang sebenarnya
diawali dengan starting point yang cukup baik. rakyat mendukung kebijakan
pemerintah meski menyisakan celah ketidakpuasan pada beberapa kebijakan lainnya.
Namun seiring bergulirnya waktu perlahan namun pasti celah-celah itu sedikit
demi sedikit terbuka lebar hingga pada akhirnya menganga. Kekecewaan mendalam
rakyat atas ketidakbecusan pemerintah dan penyimpangan amanah yang diberikan
berujung pada sebuah ledakan kekecewaan berupa revolusi total. Pergerakan massa
tak dapat dibendung lagi karena mereka bergerak dan berontak murni dari hati
dan bukan karena kepentingan politis parsial.
Sekarang, mari
kita tarik benang merah kedua frase sejarah tadi dengan kondisi kita saat ini
terkait momentum pilpres 2014. Bagi orang-orang yang betul-betul mengikuti
perkembangan politik negeri serta berbagai konsepsi yang berkembang didalamnya
tentunya akan menemukan berbagai macam kejanggalan dalam proses terpilihnya presiden
terpilih. Proses kejanggalan itu sudah dimulai saat pra, saat, hingga pasca
momen pilpres usai bahkan hingga proses di MK berakhir. Saat kita memberi
penilaian terhadap kapasitas kedua calon terntunya bagi orang-orang yang mampu
melihat dari berbagai sisi akan menemukan ketimpangan yang teramat sangat. Dari
segi leadership, Prabowo jelas memiliki keunggulan melihat rekam jejak sejak dari
dunia militer hingga terjun ke dunia politik. Retorika keduanya pun sangat
compang. Pemaparan yang lugas dan terarah dimiliki Prabowo sedangkan jokowi
terlihat jelas tak memiliki struktur bahasa yang baik serta mencerminkan orang
yang pernah mengenyam pendidikan tinggi dan pemimpin birokrasi. Kapasitas keilmuan
pun sangat compang. Pengetahuan kebangsaan adalah hal mutlak yang harus
dimiliki seorang presiden. Jikalau persoalan Laut China selatan saja tidak
kelar baiknya silahkan dinilai sendiri jika sudah menyangkut kebangsaan secara
kompleks. Ok, singkat saja, kita langsung masuk pada sebuah frame berfikir
tentang negeri ini jika dipimpin oleh seorang pemimpin yang sama sekali tidak
memiliki kapasitas mumpuni.
Bahasa alam
berkata pada sebuah realita kemanusiaan bahwa “kecintaan yang begitu besar bisa
jadi menjadi kebencian yang begitu besar”. Kita batasi dulu kotak bahasan kita
pada konteks pendukung capres dan tidak berpikir diluar itu. Kecintaan para
pendukung jokowi bisa jadi menjadi boomerang bagi mereka sendiri dikemudian
hari. Kecintaan pendukung Prabowo berbeda dikarenakan koteks situasi dan
kondisi yang terjadi. Sudah banyak survey yang dilakukan secara kecil-kecilan
oleh beberapa komunitas dan perorangan baik itu di dunia nyata maupun di dunia
maya menunjukkan sebuah hasil yang cukup menjadi gambaran bahwasanya kekecewaan
dan penyesalan dari mereka yang memilih Jokowi JK saat pilpres mulai nampak dan
semakin bertambah. Sebagian besar dari mereka merasa tertipu dengan pencitraan
Jokowi selama ini yang terlihat merakyat namun nyatanya tidak. Memang saat ini
riak kekecewaan itu belum begitu massif tapi secara pribadi saya yakin riak itu
akan semakin besar seiring berjalannya pemerintahan nanti. Tak perlu kiranya
para pendukung Prabowo atau orang-orang yang tidak setuju dengan Jokowi
bersusah-susah memberi fakta karena yakinlah telinga para jokowers jakers
pastinya sudah bebal dan terus nyaman dengan apa yang mereka rasakan selama
ini. Biarlah waktu nantinya yang akan menjadi saksi terbukanya kedok Jokowi satu
persatu yang sebenarnya dibuka sendiri olehnya. Saya tidak berharap yang buruk
tapi saya hanya berharap suatu saat keadilan bisa menunjukkan kesaktiannya.
Memang tak selamanya jalan kebenaran berjalan mulus namun yakinlah bahwa suatu
saat kebenaran pasti akan menang cepat atau lambat.
Pemerintahan
nantinya akan menjadi sebuah ujian besar dalam ranah terobosan baru dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Sebaik
apa negeri ini saat dipimpin oleh Jokowi dibanding saat dipimpin oleh SBY. Saat
ini banyak golongan yang bersorak girang atas terpilihnya Jokowi. Asing
terutama. Freeport akan terus eksis di bumi cendrawasih Papua, Exxon, Shell,dan
semua perusahaan asing akan mendapatkan kemudahan menanamkan modal dan mengeruk
perut bumi negeri ini yang sudah sakit. Kontrak karya baru akan dimodifikasi
sehingga menguntungkan mereka. Kolonialisme ekonomi akan semakin merajalela.
Kolonialisme politik akan menggurita. Bangsa ini harus bersabar melihat negeri
ini lepas dari cengkeraman asing. Imbas dari menangnya faksi kegelapan saat
momen pilpres kali ini dengan cara yang tidak bermartabat.
Sekarang kita
berharap pada kesolidan koalisi merah putih di parlemen dalam mengawal suara
rakyat dan kepentingan bangsa. Kita harus tetap total melawan setiap kebijakan
yang tidak pro rakyat dan akan merugikan negeri ini. Ini bukan lagi masalah
siapa namun kita melihat pada konteks kebangsaan secara utuh. Analogi air dalam
gelas yang akan tumpah jika terus menerus diisi. Begitu pula dengan realitas
kedepannya. Kekecewaan yang lahir dari basis pendukung sendiri karena kedok
yang terbuka jelas dari waktu ke waktu akan melahirkan sebuah pergerakan massa.
Raja Louis
XVI yang menjadi raja terakhir dalam era aristokrat Prancis telah
merasakan bagaimana dahsyatnya gelombang kekecewaan yang lahir dari masyarakat
Prancis yang dulunya mendukung kebijakan pemerintah. Ia harus merelakan garis
takdir kekuasaan bangsawan berakhir saat penjara Bastille diserbu dan
pemerintahan diambil alih oleh rakyat. Ia harus merelakan rumah mewahnya dan
para aristokrat lainnya di Versailes disita.
Nasib sama
dirasakan Soeharto. Dinasti yang dibangun selama kurang lebih 32 tahun berakhir
dalam momen berdarah 1998. Mahasiswa dan rakyat bersatu bangkit melawan ketidakbecusan
dan ketidakberesan pemerintah dalam mengatasi permasalahan negeri. Tak dipernah
dibayangkan olehnya bahwa tahta yang selama ini diduduki dengan nyaman akan
berakhir dengan cara yang sangat tragis. Sebuah konsekuensi logis dari amanah.
Di era reformasi saat ini, seorang SBY saja yang memiliki kapasitas leadership
yang cukup baik toh tak pernah sunyi dari kritik tajam dan pergolakan rakyatnya
yang tidak setuju dengan kebijakan yang ia ambil. Jika dengan kapasitas seperti
Pak SBY saja masih terus diterpa perlawanan dari mahasiswa dan rakyat, apatah lagi pastinya
akan semakin marak saat negeri ini dipimpin oleh seorang boneka asing yang
tidak memiliki kapasitas. Karena sesungguhnya teko hanya akan
mengeluarkan isinya. Boleh jadi demonstrasi akan hadir tiap bulannya bukan lagi
per periode waktu seperti saat SBY memerintah.
The last but
not least. Semua janji-janji politik saat kampanye yang dilontarkan Jokowi
pastinya akan ditagih oleh semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Seyogyanya
kita selalu ingat makna esensial dari demokrasi itu sendiri. Bahwasanya demokrasi
yang berkuasa adalah rakyat. Rakyat punya hak penuh mengawasi pemerintahnya
dank arena itu pula rakyat punya hak kuasa dalam mengkritisi pemerintah saat
kebijakan yang ia ambil tak pro rakyat. Secara pribadi setelah melihat berbagai
macam konsepsi yang berkembang dan pergolakan peta politik pasca pilpres saya
bisa mengambil sebuah antitesa sementara yang boleh jadi menjadi nyata di
kemudian hari. Pemerintahan Jokowi JK tidak akan bertahan hingga 5 tahun. Ada
banyak faktor yang menjadi analisis tersendiri akan hal ini. Namun baiknya
sekarang kita sama-sama menjadi saksi momentum demi momentum itu. Pendukung
Probowo Hatta baiknya tetap optimis bahwasanya ada rencana yang telah
diskenariokan Sang Pencipta kepada negeri ini. Kelak kebenaran akan menang. Hanya
saja kita masih dituntut untuk bersabar lebih saat ini sembari terus berjuang,
bekerja dan berdoa. Rasa minder dan krisis kepercayaan diri sejatinya sekarang
ada pada diri pendukung presiden terpilih. Sayang semuanya sudah menjadi bubur.
Momentum itu sudah berlalu dan tak mungkin diputar kembali. Bahasa penyesalan
memang datangnya selalu di akhir. Kini duduk terpaku sembari menggigit dua
jari. Tak sadar waktu berlalu. Salam Gigit Jari…!!!